Home Ads

8 Oktober 2016

Keterjajahan Pikiran Manusia Papua

Peta Pulau Papua (IST-Misteri3d)
Oleh: Lukas Walilo

Kosa kata yang melekat pada rakyat Papua selama generasi terakhir ini, 2000-2016, yakni Papua Merdeka, Otonomi Khusus (Otsus), Pemekaran, dan Pembangunan kultur Papua. Kosa kata ini selalu dapat didengar dari persepsi orang Papua dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Papua serta tawaran kunci dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Papua merdeka merupakan terminologi yang digunakan oleh rakyat Papua dan pendukungnya sebagai bentuk pergerakan sosial-politik menuju kebebasan suatu bangsa. Sinonim dari Papua Merdeka adalah GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), dan lain-lain. Sebuah persepsi yang dibangun oleh pihak elit politik, yang mempunyai kepentingan di Papua. Elit politik itu adalah regim represif Orde Baru. Regim Orde Baru mengenakan bemper politik Golkar melahirkan sejumlah keputusan politis yang menguntungkan kekuasaannya.

Stigma yang diberikan oleh pihak Keamanan, seperti GPK, GSB (Gerakan Separatis Bersenjata), GPL (Gerakan Pengacau Liar), Makar, dan lain-lain, sebagai tameng untuk mengamankan kepentingan elit politik nasional di atas Tanah Papua. Pada tentunya, masyarakat Papua merasa ketakutan dengan stigma yang ada. Perasaan ketidaknyamanan ini menghantui pikiran dan tindakan, karena akan dianggap virus dalam pergerakan elit politik yang membuat perlakuan tidak adil, ada penindasan yang kejam, pembunuhan, menghilangkan budaya, program Islamisasi di Papua, dan bahkan setiap hari ada kematian secara tragis.

Kosa kata yang kedua adalah Otsus. Otsus merupakan kebijakan politik Pemerintah Pusat untuk masalah di Papua. Cikal bakal kata Otsus bergulir bersama gerekan Papua Merdeka, namun pemakaian kata Otsus diresmikan tanggal 21 November 2001, melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua. Berdasarkan UU ini, Papua mendapat perlakuan yang khusus selama 15 tahun. Otsus juga membawa win-win solution antara rakyat Papua dengan Pemerintah Pusat.

Substansi adanya Otsus merupakan sebagai penghargaan untuk mengangkat martabat dan harkat manusia Papua. Selain itu, Otsus adalah tindakan pergerakan kekuasaan untuk berdiri otonom di daerah kekuasaannya sendiri. Tindakan dari Otsus adalah adanya pemekaran dan pembagian dana takabur di mana-mana.

Kosa kata yang ketiga adalah pemekaran, merupakan bentuk dari sistem imperialis untuk membangun daerah yang banyak terdapat rempah-rempah, emas dan kekayaan alam lainnya. Wujud konkret dari Otsus adalah adanya pemekaran distrik, kota/kabupaten, dan provinsi. Kaum imperialis membentuk unit jaringan kerja dengan pemerintah (yang berkuasa) untuk membuka lapangan kerja bagi Masyarakat Pribumi yang terisolir dari perkembangan modernisasi.

Artinya bahwa pemekaran merupakan dampak dari perorganisasian sistem imperialisme. Pada tentunya, pemekaran identik dengan istilah “membangun dari ketertinggalan”. Pada prinsipnya, pemekaran cenderung memperluas daerah teritorial tanpa batas-batas yang jelas, dengan tujuan untuk menguasai daerah yang banyak terdapat kekayaan alam, sebagai pencarian ruang hidup dan nafsu kekuaasaan.

Tiga kosa kata ini secara hakiki memperlihatkan gejolak laten yang dialami oleh masyarakat Papua. Tiga kosa kata ini merupakan proses revolusi mental secara internal-eksternal, yakni berupa perluasan sebuah ideologi. Sebuah pandangan yang dibuat bersamaan dengan kepentingan elit politik dalam hal ini “imperialis lokal maupun nasional”, yang mencemarkan situasi kehidupan bermasyarakat secara sosial-politik orang Papua.

Kosa kata ini merupakan dialektika-historis dari pemahaman pikiran manusia global di Papua. Manusia Papua dari masa ke masa senantiasa berziarah secara episodal guna menemukan identitas dirinya dalam kancah hidup yang gesekan perubahan sebagai bangsa Melanesia yang terlahir di atas Tanah Papua.

Kosa kata yang akan menghantar kita dalam dialektika-historis perkembangan pikiran manusia Papua adalah Otsus. Bagi rakyat Papua era ini adalah era-Otsus. Kaca mata akar rumput (manusia Papua) melihat Otsus sebagai harapan baru dalam perubahan, melainkan Otsus merupakan substansi pergerakan revolusi kaum kapitalis dengan mengembangkan sayapnya pada daerah penghasil kekayaan alam. Otsus disembunyikan dari konsep abstraksi, definisi kepentingan kapitalis-komunal, dan substansinya dari kehadiran Otsus.

Bagi orang Papua, Otsus adalah sebuah pergerakan revolusi dari istilah “membangun dari ketertinggalan”. Otsus merupakan gesekan revolutif elit politik sebagai fenomena baru yang memberi harapan baru dan mudahnya memperoleh kekayaan baru dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Tulisan ini lebih mengulas pergeseran perubahan pemahaman komunal masyarakat Papua dalam bayang-bayang Otsus, sebagai sebuah realitas dalam pergumulan masyarakat Papua saat ini. Otsus disoroti sebagai bentuk gesekan revolusi pemahaman masyarakat Papua yang mencari harapan baru dalam kepentingan komunitas kapitalis, dengan alat ukurnya mengembangkan praktek feodal ke imperialis modern, sebagai bentuk praktek sejarah pemikiran masyarakat historis, termasuk manusia Papua sebagai tolak ukur dalam penulisan ini. Dan tentunya akan memperlihatkan pergerakan Otsus dalam pergumulan orang Papua, dengan melihat perubahan historis pemikiran dari masyarakat Papua.

Dari Komunal-Primitif ke Masyarakat Kapitalis

Kekayaan alam memengaruhi terhadap sejarah peradaban manusia, tak terelakkan dengan faktor revolusi pemahaman kaum imperialisme. Dalam kondisi seperti ini akan merubah pemahaman masyarakat, yang membentuk pola pikir pada pikiran pragmatisasi dan perilaku lugu dengan situasi dirinya.

Dalam hal ini, Maurice mengutip tentang apa yang diungkapkan oleh seorang ahli sejarah dari Inggris, Arnold J. Toinbee, yang diteruskan dengan pendapatnya dalam tulisannya “Sosiologi Politik”. Teori yang terkenal adalah “Challenge”, dirumuskan bahwa “kemudahan merugikan peradaban”.

Semua peradaban yang besar berkembang dalam lingkungan dialektika-historis sebagai bentuk reaksi dari kesulitan revolusi pikiran. Energi manusia, kreativitas, dan kemampuan untuk menemukan struktur sosial-politik akan dihalangi oleh faktor alam dengan segala isinya.

Manusia menjadi kuat dan perkasa justru ketika dihadapkan kepada reaksi hambatan pikiran. Konsekuensinya, manusia akan mengalami rangsangan pikiran pada suatu realitas sosial yang bertumbuh pada lingkungan dialektika-historis. Kondisi alam membentuk reaksi gesekan jajahan baru untuk membangkitkan kaum feodal-kapitalis dan berlangsung sejauh ada reaksi positif.

Manusia selalu memproyeksikan diri ke masa depan dengan sebuah perwujudan eksistensial diri sekaligus mencakup keterlemparan, itu membuktikan rasa peduli manusia disatukan dalam makna revolusi historis. Kata revolusi historis berkaitan dengan waktu peradaban manusia dari satu sejarah hidup yang panjang dan terus-menerus. Dengan kata lain, perubahan itu terjadi karena ada dialektika-interkonektif (keterkaitan) antara materi-materi, seperti pikiran, manusia yang ada, dan lain-lain.

Perubahan sejarah manusia terjadi karena ada perlawanan (opposide) untuk mengalami perubahan pada segala yang baru berdasarkan segalanya sebelum ada. Pemahaman Marx bahwa segala sesuatu terjadi melalui dialektika yang berpandangan bahwa segala sesuatu termasuk pikiran selalu mengalir dan berubah yang sebelumnya ada (lih. Karya-karya Marx dan Engels (1883), Dialektika oleh Friedrich Engels, dalam www.marxists.org).

Masyarakat memiliki sejarah hidup yang panjang. Tahapan sejarah hidup itu dilalui dengan pikiran revolusiotik. Perubahan selalu diikuti dengan adanya negasi (pergantian), misalnya manusia Papua yang sama menjadi manusia Papua yang kapitalis (seperti pejabat, kaum pemodal), adakalanya dipengaruhi oleh sistem kapitalis. Pemikiran ini didasarkan pada asumsi bahwa sejarah manusia hanya dijelaskan dengan hukum alam, sebagai lingkungan manusia berdialektika.

Papua Merdeka ke Otsus

Pengaruh sejarah memproduksikan fenomena empiris berupa perlawanan. Perlawanan juga adalah suatu tindakan yang menimbulkan reaksi keterkaitan sistem sosial-politik.

Sejak awal tahun 1960-an sampai saat ini, Tanah Papua menjadi tempat berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat TNI dan Polri, baik dalam konteks operasi militer menghadapi gerakan separatis bersenjata maupun tindakan terhadap pendukung kemerdekaan yang bergerak tanpa kekerasan. Rakyat Papua menuntut keadilan atas pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi dalam skala luas, namun tidak pernah mendapat penyelesaian dari pemerintah.

Kecurigaan terhadap pemerintah mendorong hadirnya militer dalam jumlah yang besar dan justeru mengakibatkan pelanggaran yang baru, berupa pengamanan kepentingan kaum kapitalis. Dalam sejarah yang panjang itu melahirkan berbagai akar persoalan, di antaranya sejarah politik Bangsa Papua yang penuh dengan rekayasa politik dan manipulasi bukti sejarah, sumber daya alam, serta perampasan tanah dan hak ulayat masyarakat adat Papua.

Dari permasalahan sejarah ini, timbullah yang namanya Otsus untuk kesejahteraan orang Papua. Otsus sebagai fenomena empiris menyata melalui pembangunan dan pembagian dana segar. Hal yang menonjol dari Otsus adalah keinginan manusia Papua untuk memperoleh kekuasaan dan mengutamakan dana segar itu. Sejumlah manusia Papua meninggalkan pekerjaan kultur seperti berkebun, berburu, nelayan, tokok sagu, beralih menjadi buruh harian dan menjadi masyarakat pragmatikus. Inilah bentuk lain dari penjajahan pikiran melalui tindakan praksis untuk memperoleh keuntungan.

Otsus menghadirkan masyarakat peramu modern. Masyarakat ini menganut sistem “menarik langsung keuntungan”, dari sumber dana yang ada. Otsus melahirkan manusia Papua yang hidupnya boros. Mentalitas ini mematikan seluruh daya energi manusia Papua dan meningkatkan ketergantungan pada sumber dana, yang disebut masyarakat Papua ialah dana Otsus.

Apa yang dikisahkan tentang Baliem (Wamena), bukan sekadar pemekaran distrik/kampung dan perubahan pikiran komsumtif orang Huwula-Baliem. Pemekaran itu mengungkapkan bahwa Papua saat ini berada dalam sistem kapitalis dengan sayapnya menanamkan imperialisme dalam budaya kehidupan manusia Papua. Kota Wamena, sebuah analisis mengenai dampak Otsus dalam arus globalisasi telah menerpa juga perubahan pikiran manusia Papua.

Episentrum dari arus ini adalah kapitalis-imperialis yang disponsori oleh sistem kapitalis dari negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Belanda, Rusia, dan lain-lain. Dampak dari kapitalis-imperialis ini mencampakkan manusia Papua ke dalam situasi yang dapat berdampak panjang pada penderitaan masyarakat Pribumi. Manusia Papua sendiri kemungkinan besar tak pernah menyadari akan dampaknya pada gesekan pola pikir itu sendiri.

Kesimpulan

Bagi generasi muda Papua, Otsus merupakan perubahan tawaran yang “murah meriah” dalam membangkitkan kultur orang Papua. Adanya Otsus mengadakan kelimpahan uang dan terjadi pemekaran dari Pesisir sampai Pegunungan Papua.

Pemekaran juga membuka lahan kerja untuk kapitalis. Dengan menjalankan sistem kapitalis-imperialis, serta wujudnya adalah adanya kemudahan dalam pelayanan maupun mencari kerja yang cepat mendatangkan uang.

Adapun Otsus muncul menjadi tantangan tersendiri untuk mengembalikan sikap hidup konsumtif dan pragmatis, yang akan mengikis mentalitas dari perubahan manusia Papua.

Tantangan ini perlu ditanggapi dengan pengembangan kapasitas kinerja militan sosialis. Militan sosialis artinya memunculkan pemicu yang menjadi molekul (virus) untuk menyadarkan manusia Papua. Virus itu diupayakan dengan tanggapan dalam dialektika-historis manusia Papua dalam dunia pendidikan semacam STFT “Fajar Timur”.

Isi dari pemicu (axelerator) adalah ada daya kritikal dan manusia kritikus. Kegiatan daya kritikal dan manusia kritikus perlu disoroti dalam pendidikan militan-analisis sosial sebagai ajaran sosial berdasarkan lokus realitas kehidupan manusia Papua. Hasil “perubahan dialektika” menjadi perjumpaan yang dapat tercipta suatu tindakan baru, dengan adanya revolusi pemikiran manusia Papua sebagai tanggapan dialektika-historis manusia Papua.

Semoga kita menjadi pemicu dalam melahirkan tindakan yang revolutif bagi bangsa Papua ini.

Penulis adalah mahasiswa STFT “Fajar Timur” Jayapura, Papua.

Sumber : suarapapua.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

close



Misteri3d

"Dongpusuka, Dongpumau, Dongpuselerah". Yang dong inginkan, dong harus dapat, apapun yang dong mau, iya suka-suka dorang, zapa mau larang zapa, selagi dong-dong itu berkuasa di Papua selerah dong punya ya, lesat rasanya, lama-lama habis sudah to manusia Papua secara perlahan satu demi satu, ya namanya juga dong pu 3d."




Comments

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *